Minggu, 11 Agustus 2013

Historiografi Islam - Tema Pra Islam

Share On:



Historiografi Islam merupakan penulisan sejarah yang dilakukan oleh orang Islam baik kelompok maupun perorangan dari berbagai aliran dan pada masa tertentu. Tujuan penulisannya adalah untuk menunjukkan perkembangan konsep sejarah baik di dalam pemikiran maupun di dalam pendekatan ilmiah yang dilakukannya disertai dengan uraian mengenai pertumbuhan, perkembangan dan kemunduran bentuk-bentuk ekspresi yang dipergunakan dalam penyajian bahan-bahan sejarah. Kebanyakan karya-karya Islam banyak ditulis dalam bahasa Arab, dan banyak pula yang berbahasa lain seperti Persia dan Turki.
      Adapun hal-hal yang mendorong perkembangan pesat bagi penulisan sejarah Islamadalah:
1.   Konsep Islam sebagai agama yang mengandung sejarah Nabi Muhammad SAW adalah sebagai puncak dan pelaksanaan suatu proses sejarah. Nabi juga merupakan pembaharu sosial agama yang melaksanakan kenabiannya dan untuk memberikan tuntutan bagi masa depan. Jadi nabi telah menyediakan suatu kerangka bagi suatu wadah sejarah yang sangat luas untuk diisi dan ditafsirkan oleh para sejarawan.
2.   Adanya kesadaran sejarah yang di pupuk oleh Nabi Muhammad. Peristiwa sejarah masa lalu dalam seluruh manifestasinya, sangat penting bagi perkembangan peradaban Islam. Apa yang dicontohkan oleh Nabi semasa hidupnya merupakan kebenaran sejarah yang harus menjadi suri tauladan bagi umat Islam selanjutnya. Kesadaran sejarah yang besar ini, menjadi pendorong untuk penelitian dan penulisan sejarah.
Ada beberapa tahap perkembangan dalam menciptakan mekanisme sejarah tersebut, yaitu pada awalnya informasi disampaikan secara lisan, dan kemudian metode penyampaian lisan ini (oral transmission) dilengkapi dengan catatan tertulis yang tidak dipublikasikan, yaitu semacam pelapor catatan.

Untuk mengkaji persoalan Tema-Tema Pra Islam, penulis membatasi masa kajian dari masa awal Nabi Muhammad s.aw. sampai masa Abbasiyah sebagai batasan Islam klasik. Tetapi sebagai kajian sejarah, latar belakang masyarakat pra Islam (Jahiliyah) dalam kaitannya dengan kemunculan dan perkembangan historiografi Islam klasik menjadi bahasan tersendiri karena sifat kajian sejarah yang memanjang dalam waktu. Fokus kajian historiografi Islam klasik di sini membahas tiga karya historiografi Islam klasik; Sirah al-Nabi karya Ibn Ibn Ishaq, al-Maghazi karya al-Wakidi dan Tarikh al-Umam wa al-Muluk atau Tarikh al-Tabari karya al-Tabari, sebagai representasi karya-karya sejarah Islam klasik yang memiliki kaitan dengan persoalan historiografi Islam klasik. Di samping itu, fokus kajian juga diarahkan pada karya-karya sejarawan Muslim modern, seperti Hasan Ibrahim Hasan dan Muhammad Husain Haikal dan beberapa karya orientalis, seperti H.A.R. Gibb dan William Montgomery Watt dan yang lainnya, (Margoliouth, Muir, Wellhausen) yang menulis tentang sejarah Islam klasik sebagai perbandingan dan kaitan pengaruh karya kesejarahan tersebut.
Ada dua persoalan yang menjadi fokus utama dalam kajian historiografi Islam klasik, yaitu persoalan materi (kandungan isi) bahasan dan metodologi. Yang pertama berkaitan dengan dua persoalan yang saling berkaitan; persoalan politik oriented yang kemudian memunculkan sejarah politik dan materialisme sejarah. Sedangkan yang kedua berkaitan dengan penggunaan periwayatan (hadith), hauliyat (sejarah berdasarkan tahun) sebagai metode dalam penulisan histoiografi Islam klasik.
Sejarah yang berorientasikan politik (sejarah politik) memiliki latar belakang kesejarahan dan hubungan kontinyuitas yang saling berkaitan antara aspek konseptual, sumber-sumber kesejarahan, para sejarawan awal Islam, jiwa zaman dan pandangan dunia akhir abad ke-1 H. sampai akhir abad ke-3 H. yang ditandai oleh peran sentral dan dominasi kerajaan Islam klasik (Kerajaan Umayyah dan Abbasiyah). Keseluruhan aspek ini memiliki hubungan timbal balik dan pengaruh- mempengaruhi terhadap kemunculan dan perkembangan historiografi Islam klasik yang politik oriented .
Secara konseptual, konsep sejarah Islam klasik yang dibangun oleh para sejarawan awal Islam mengacu kepada pandangan bangsa Arab pra Islam (Jahiliyah) tentang sejarah sebagai suatu peristiwa penting, elitis dan politik. Konsep ini melestarikan corak penulisan sejarah awal Islam yang sarat dengan tema-tema politik, sehingga penulisan sejarah politik menjadi main stream dalam karya-karya kesejarahan awal Islam. Dari sisi sumber rujukan pula, ternyata sumber-sumber primer yang menjadi rujukan utama para sejarawan awal Islam dalam penulisan karya sejarah mereka mayoritasnya berasal dari dokumen- dokumen politik. Para sejarawan awal Islam, seperti Ibn Ishaq, al Wakidi dan al Tabari selain terpengaruh oleh konsep dan sumber- sumber kesejarahan Islam yang berasal dari dokumen dokumen politik, pada saat yang sama mereka memiliki hubungan timbal balik dengan kerajaan/raja (Bani Umayyah dan Abbasiyah) dan terpengaruh pula oleh pandangan dunia dan mazhabnya. Hubungan timbal balik antara kerajaan dan para sejarawan itu terdapat dalam hubungan yang saling memerlukan di antara kerajaan atau raja dan sejarawan, pengaruh kerajaan atau raja terhadap sejarawan dan corak penulisan sejarah yang berpusat pada kerajaan. Sedangkan hubungan timbal balik antara sejarawan dan pandangan dunianya ialah keterlibatan teologi (mazhab keagamaan) dan pengaruhnya terhadap karya sejarawan tersebut. Kesemua hubungan ini memberikan kontribusi pula terhadap corak penulisan sejarah Islam klasik yang politik oriented, sehingga frame work dalam penulisan sejarah Islam klasik tidak pernah lepas dari main stream sejarah politik.
Pembahasan sejarah awal Islam yang melulu politik oriented ini memunculkan persoalan materialisme sejarah, karena peristiwa- peristiwa kesejarahan awal Islam yang bertemakan sejarah politik seperti peperangan-peperangan, (al-maghazi), pembukaan/perluasan wilayah (al-futuhat) , peristiwa thaqifah, al-fitnah al-kubra (Perang Jamal dan Perang Shiffin), dan al-khilafah, yang semuanya menjadi tema sentral dalam historiografi Islam klasik hanya dipaparkan dari aspek peristiwa per peristiwa secara lahirnya saja, tanpa menjelaskan motif utama, arah tujuan, maksud dan makna dari peristiwa-peristiwa tersebut, sehingga peristiwa-peristiwa seperti peperangan dan perluasan wilayah menjadi bagian dari persoalan materialisme sejarah.
Tetapi persoalan yang paling utama dalam kaitannya dengan materialisme sejarah ini justeru terdapat dalam karya mayoritas orientalis seperti H.A.R. Gibb, D.S. Margoliouth, W. Montgomery Watt, William Muir dan yang lainnya yang mengkaji dan menulis karya historiografi Islam klasik. Karya-karya mereka selain sarat dengan bahasan yang politik oriented dan materialisme sejarah, juga sarat dengan bias teologi, ideologi (Marxism) dan tafsir (interpretasi) dalam memahami sejarah awal Islam, khususnya dalam bahasan-bahasan tentang sejarah dan biografi Nabi Muhammad s.a.w. (Sirah al-Nabi), meskipun kajian mereka cukup analitis.
Sejarawan Muslim yang datang kemudian, seperti Muhammad Husain Haikal, sungguhpun telah melakukan kritik terhadap karya-karya sejarah orientalis dan interpretasi sejarah, tetapi pada saat yang sama beliau terjebak pula dalam penulisan sejarah yang politik oriented dan penafsiran sejarah yang berlebihan dan karenanya menjadi bias pula. Hasan Ibrahim Hasan, sejarawan Muslim modern yang lain, walaupun menulis karya sejarah awal Islam dari berbagai aspeknya (politik, agama, budaya dan sosial), tapi persoalan penulisan sejarah politik dalam karya beliau lebih kompleks lagi, karena di samping banyak menukil sumber sejarah dari al-Ya’qubi (Tarikh al-Ya’qubi) yang bermazhab Shi’ah dan anti Muawiyah (Krajaan Bani Umayyah), beliau banyak pula terpengaruh oleh karya orientalis Nicholson yang memiliki pandangan bias politik termasuk terhadap Kerajaan Bani Umayyah.
Secara metodologis, penggunaan metode periwayatan (hadith) oleh para sejarawan Islam klasik-seperti Ibn Ishaq, al-Wakidi dan al-Tabari di satu sisi memang telah memberikan peranan terhadap kemunculan dan perkembangan historiografi Islam klasik. Namun di sisi lain ianya juga meninggalkan persoalan, karena mereka hanya meriwayatkan, menukil dan menyampaikan ceritera, berita dan peristiwa yang diriwayatkan oleh para perawi dan pengkisah kepada perawi yang lainnya, sehingga fokus mereka ialah terbatas pada bagaimana cerita dan peristiwa yang diriwayatkan dan dikisahkan itu sampai kepada sejarawan, tanpa memperhatikan kandungan isi (materi) yang diriwayatkan itu dan bagaimana ia dapat dipahami dengan melibatkan konteks dan pemahaman yang utuh terhadap peristiwa dan berita tersebut. Dengan perkataan lain, metod periwayatan (hadith) yang digunakan oleh para sejarawan awal Islam baru memaknai sejarah dalam pengertian-meminjam istilah Ibn Khaldun-lahir saja, yaitu rentetan peristiwa dan cerita yang diriwayatkan oleh para perawi, belum sampai kepada makna sejarah dalam pengerian yang batinnya yang mencakup makna hakikat dari peristiwa tersebut yang melibatkan perangkat analisis, pentafsiran dan filsafat sejarah. Dalam kaitan ini pula metode periwayatan (hadith) telah menjadi alat bantu untuk memperkuat main stream sejarah politik dalam konteks historiografi Islam klasik karena hilangnya pemahaman yang utuh dan konteks dalam memahami sejarah.
Untuk memahami peristiwa-peristiwa sejarah awal Islam yang sarat dengan politik oriented (sejarah politik) dan materialisme sejarah secara utuh, penulis memberikan tawaran alternatif beberapa konsep dan perangkat analisis historiografis dari Ibn Khaldun tentang konsep peradaban dan penggunaan pendekatan pelbagai ilmu sosial budaya (`ilm al-umran), yang kemudian dikembangkan oleh Barat dengan pendekatan multidimensional dalam memahami sejarah, konsep spiritualitas sejarah Islam dari Prof. Masadul Hasan, konsep tentang konteks dari Berkhofer dan konsep kesepaduan dalam sejarah. Dari beberapa konsep ini penulis mengemukan sebuah tesis bahwa sejarah Islam klasik adalah sejarah peradaban dan peradaban Islam ialah peradaban spiritual yang dibangun oleh asas dan sendi-sendi Tauhid-meskipun dalam perkembangannya berwujud material. Oleh karena itu penulisan sejarah Islam klasik mesti melibatkan aspek spiritual yang menjiwai gerak dan proses peradaban, menggunakan pendekatan multidimensional dan pemahaman terhadap konteksnya. Dengan konsep sejarah peradaban peristiwa-peristiwa kesejarahan Islam klasik yang yang sarat dengan bahasan sejarah politik mesti diletakkan dalam konteks proses peradaban tersebut. Dari sinilah rekonstruksi historiografi Islam klasik dibangun dan dikembangkan.

1.Ilmu sirah dan maghazi
Definisi. Ilmu yang membahas tentang sejarah hidup (sirah) dan peperangan (maghazi) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Ruang lingkup. Tema yang dikaji adalah sejarah hidup Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, terutama setelah beliau diangkat sebagai Nabi dan Rasul. Namun, sering pula disertakan kisah hidup beliau sebelum itu, yang tentu saja ada tambahan keterangan tentang latar kehidupan jahiliyah, sejarah, budaya, agama dan asal-usul bangsa Arab.
Manfaat. Syaikh Muhammad bin ‘Abdil Wahhab, dalam muqaddimah kitab Mukhtashar Sirah ar-Rasul menyatakan, “...ketahuilah hal-hal yang diceritakan oleh para ulama’ tentang kisah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam beserta kaumnya, juga apa yang terjadi diantara beliau dengan mereka selama di Makkah, apa yang terjadi diantara beliau dengan mereka selama di Madinah; ketahui pula apa yang dikisahkan para ulama’ tentang para sahabat beliau, berikut keadaan dan tindakan mereka; niscaya engkau akan mengenal Islam dan kekufuran; sesungguhnya Islam di hari-hari sekarang ini asing (gharib); mayoritas manusia tidak bisa membedakannya dari kekufuran; ini adalah kehancuran yang tidak dapat diharap darinya keberuntungan...”
Jadi, manfaat terpenting yang bisa diraih dengan mengkaji sirah adalah "mengenal Islam sebagaimana aslinya", yang dengan demikian kita dapat memilah unsur-unsur asing yang merembes masuk ke dalam Islam dan kemudian memurnikannya.
Keutamaan. Mengkaji sirah adalah bagian dari upaya mengenali keaslian Islam, sebagaimana yang pernah diterapkan pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya. Sirah sendiri merupakan rekaman otentik bagaimana Al-Qur’an diterapkan di muka bumi, dan bukan sekedar catatan peristiwa tanpa makna. Ia adalah Al-Qur’an yang “hidup”, sumber inspirasi yang diwariskan oleh generasi terbaik tersebut untuk umat di belakangnya. Siapapun yang mendalami sirah pasti menyadari bahwa disana terdapat hubungan yang sangat kuat dan tak terpisahkan antara sirah, Al-Qur’an dan Sunnah. Membaca sirah, sepanjang riwayatnya benar dan dapat dipertanggungjawabkan, adalah ibarat membacara sebuah tafsir yang dikarang oleh Rasulullah sendiri.
Hubungan dengan ilmu lain. Dari satu sisi, ilmu ini merupakan salah satu cabang dari ilmu sejarah (tarikh), yang secara khusus membahas periode kehidupan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Di sisi lain, karena validitas riwayatnya sangat bergantung kepada hadits dan atsar, maka ilmu ini dapat dianggap pula sebagai bagian dari Ilmu Hadits.
Para perintis. Ulama’ yang pertamakali mengumpulkan riwayat di bidang ini secara khusus adalah Muhammad bin Ishaq bin Yasar (w. 150 H). Ada juga yang berpendapat bahwa bukan beliau yang pertama melakukannya, akan tetapi ‘Urwah bin az-Zubair (w. 94 H). Selain mereka, terdapat beberapa tokoh lain yang mula-mula mengkaji masalah ini secara khusus, atau menaruh perhatian tertentu untuk meriwayatkannya; diantaranya Aban bin 'Utsman (w. 105 H), Wahb bin Munabbih (w. 110 H), Syurahbil bin Sa'ad (w. 123 H), Muhammad bin Muslim bin Syihab az-Zuhri (w. 125 H), 'Abdullah bin Abi Bakr bin Hazm al-Anshari (w. 135 H), Musa bin ‘Uqbah bin Abi ‘Iyasy (w. 141 H), ‘Abdurrahman bin Muhammad al-Anshari (generasi ke-7, tabi’ tabi’in senior), Ma'mar bin Rasyid al-Azdi (w. 150 H), Abu Muhammad Ziyad bin 'Abdul Malik al-Bakka'i (w. 183 H), Abu Muhammad Yahya bin Sa’id bin Aban al-Umawi al-Kufi al-Hanafi (w. 191 H), Muhammad bin 'Umar bin Waqid al-Waqidi al-Aslami (w. 207 H), Muhammad bin Sa'ad (w. 230 H), Abu ‘Abdillah Muhammad bin ‘Aidz al-Qurasyi ad-Dimasyqi (w. 233 H), Ibnu ‘Abdil Barr al-Qurthubi (w. 463 H), dan Abu al-Hasan ‘Ali bin Ahmad al-Waqidi (w. 468 H).
Nama. Biasanya disebut dengan sirah (perjalanan hidup) atau maghazi (tempat/waktu peperangan), disebabkan pokok kajiannya yang berfokus kepada keduanya.
Sumber bahan kajian. Bahan yang dipergunakan adalah riwayat-riwayat hadits dari para saksi sejarah, bukti-bukti fisik, juga kesaksian dari sya’ir-sya’ir yang merupakan rekaman bangsa Arab di masa itu terhadap kisah kehidupan mereka di suatu masa.
Masalah yang dikaji. Ilmu ini berusaha merangkai berbagai catatan sehingga membentuk bangunan sejarah yang utuh. Karena sifat khususnya, ilmu ini sering berusaha meneliti validitas serta kualitas riwayatnya dengan menggunakan metodologi Ahli Hadits, lalu memilih mana yang paling kuat dan dapat dijadikan sebagai sandaran. Di masa silam, sirah dan maghazi adalah bagian dari studi hadits, bukan sebuah disiplin ilmu terpisah seperti dikesankan dewasa ini. Oleh karenanya sangat wajar jika seluruh kitab induk hadits pasti mengandung elemen sirah dan maghazi di dalamnya. Meski demikian, metodologi yang dipergunakan dalam meneliti masalah sirah cenderung longgar dibandingkan jika meneliti masalah-masalah hukum dan akidah. Akibatnya, karya-karya di bidang ini dipandang relatif kurang bermutu oleh para Ahli Hadits di zamannya, dan para perawinya sering dikritik dengan pedas.
Literatur penting. Karya paling termasyhur di bidang ini adalah Sirah Ibnu Hisyam yang merupakan ringkasan dan seleksi dari Sirah Ibnu Ishaq yang sudah hilang, sedang al-Maghazi karya Musa bin ‘Uqbah dipandang sebagai karya yang paling shahih. Sangat banyak sumber lain yang ditulis dalam masalah sirah, baik di zaman klasik maupun modern. Diantaranya salah satu bagian dari al-Bidayah wan Nihayah karya Ibnu Katsir, salah satu bagian dari Tarikh ath-Thabari, ‘Uyunu al-Atsar karya Ibnu Sayyidinnas, ar-Raudh al-‘Unuf karya as-Suhaili, Tarikh Khalifah bin Khayyath, Mukhtashar Sirah ar-Rasul karya Syekh Muhammad bin ‘Abdil Wahhab, Tahdzib Sirah Ibnu Hisyam karya Syekh ‘Abdussalam Harun, dan ar-Rahiq al-Mahtum karya Syekh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri


2. Akhabar/ Tarikh
Bentuk historiografi Islam yang paling tua yang langsung berhubungan dengan cerita- cerita perang dengan uraian yang baik dan sempurna yang biasanya mengenai suatu kejadian yang kalau ditulis hanya beberapa halaman saja, dinamakan Khabar. Di dalam konteks karya sejarah yang lebih luas perkataan khabar sering dipergunakan sebagai laporan, kejadian atau certita. Konon, penduduk Yaman telah mencatat sejarah para penguasa mereka lewat ukiran- ukiran atau relief yang dipahatkan pada bangunan- bangunan. Demikian pula dengan para penguasa Hirah di Irak yang mencatat sejarah kejadian mereka di dinding bangunan dan tempat peribadahan.

Di dalam penulisan sejarah ada tiga hal yang merupakan ciri khas bentuk khabar:
1.dalam khabar tidak ada hubungan sebab akibat di antara dua atau lebih peristiwa- peristiwa. Tiap- tiap khabar sudah melengkapi dirinya sendiri dan membiarkan saja cerita itu tanpa adanya dukungan rerfensi yang lain sebagai pendukungnya.
2.sesuai dengan ciri khasanya yang sudah berakar jauh sebelum Islam maka cerita- cerita perang, bentuk khobar tetap dengan mempergunakan cerita pendek, memiliki situasi dan peristiwa yang disenangi menyalahi kejadian yang sebenarnya. Peristiwa yang selalu disajikan dalam dialog antara pelaku peristiwa, sehingga meringankan ahli sejarah melakukan analisa terhadap peristiwa itu kepada pembaca. Menyajikan peristiwa perang dengan lengkap, merupakan bacaan yang menyenangkan namun peristiwa yang sebenarnya tetap menjadi terselubung.
3.bentuk khabar cukup bervariasi, sebagai cerita pertempuran yang terus-menerus dan sebagai suatu ekspresi yang artistik, khabar juga disajikan dalam bentuk puisi serta syair-syair. Banyak sedikitnya syair tergantung kemauan dan ekspresi psikologis penulis.

3. Al-Ansab
ü  Ansab adalah batu yang tidak memiliki bentuk tertentu yang digunakan untuk tempat menyembelih binatang yang akan dipersembahkan (altar) untuk berhala-berhala. Al-ansab juga dipakai untuk jenis batu yang tidak dibentuk yang disembah apabila tidak mampu membuat al-asnam.
ü  Asnam adalah segala sesuatu yang terbuat dari kayu, batu, emas, perak, tembaga dan semua jenis bahan berasal dari bumi yang memiliki bentuk menyerupai makhluk hidup seperti manusia, binatang dan tumbuhan serta memiliki bentuk tubuh yang besar. Selain itu, al-asnam mengalami perluasan makna yang digunakan untuk menunjukkan makna majazi dari berhala.
ü  Awsan dari bahan baku pembuatnya sama dengan al-asnam, namun kata ini lebih umum daripada al-asnam, karena dapat berupa segala sesuatu yang berbentuk dan tidak berbentuk, baik kecil maupun besar. Sehingga, kata al-asnam dapat dimasukkan ke dalam kategori al-awsan.

4. Thabaqat
Thabaqat berarti lapisan. Transisi masyarakat dari satu lapisan atau kelas dalam penggantian kronologis generasi mudah dilakukan. Sebagaimana qarn yang mendahului arti thabaqat, yang dalam penggunaannya berarti generasi. Ahli-ahli leksikografi mencoba menetapkan ukuran panjang yang pasti dari thabaqat. Sebagian mereka menentukan suatu lapisan generasi itu 20 tahun sedang lainnya 40 tahun. Ada juga yang berpendapat thabaqat itu lamanya 10 tahun.
Untuk memudahkan refrensi, sejarah bentuk biografi disusun dalam kelompok- kelompok( kelas) yang biasa disebut thabaqah. Thabaqat mencakup orang- orang yang telah wafat dalam waktu yang kira- kira sama. Dalam tradisi Islam sendiri, thabaqat merupakan sesuatu yang amat lazim. Terutama jika merujuk pada sejarah Muhammad; dalam lingkaran dan lintasan waktu perkembangan agama Islam, terdapat lapisan shahabat, tab’in, tabi’ al-tabi’in dan seterusnya. Hal ini berhubungan dengan kritik isnad dalam ‘ulum al-hadits.
Pada mulanya, sebagai contoh dalam karya ibn Sa’ad, penyusunan thabaqat dipergunakan sebagai biografi para penguasa yang penting dalam pemindahan hadits. Dalam sejarah lokal, semacam karya Washal Sejarah Wasith di dalamnya hanya dibatasi para perawi hadits. Kemudian dapat dipergunakan untuk kelas-kelas kelompok pribadi terutama yang tergolong ulama. Selanjutnya juga digunakan untuk klasifikasi kejadian-kejadian sebagaimana yang terdapat dalam kitab al-Dzahabi yang berjudul Tarikh al-Islam wa Thabaqati Masyahir al-‘Alam. Yang penting dalam karya thabaqat ini ialah untuk memperoleh suatu gambaran yang nyata tentang apa yang sebenarnya harus dicari dan diteliti. Dalam karya Abu Ishaq yang berjudul Thabaqat al-Fuqaha’ seseorang menginginkan sebanyak mungkin informasi, sehingga memungkinkan mereka untuk mendapatkan biografi tokoh dalam suatu wilayah dan lokasi.
Cara alfabetis penyusunan biografi ini banyak memberikan kemudahan bagi generasi selanjutnya. Dalam kitab al-Dibaj yang disusun oleh Ibn Farhun (abad 14 M), ulama-ulama Malikiyah diuraikan sesuai nama mereka, dan ini dibagi lagi ke dalam thabaqat kemudian thabaqat disusun menurut geografis.

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda
Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar